Michael Heart dan Kemaluan

Filed Under: Fenomena, Keyakinan, Khayalan, Pemikiran, Renungan
Apa yang istimewa dari lagu yang dibawakan Michael Heart? Semua pasti sepakat bukan terletak pada genjrengan gitar dan aransemen musiknya yang minimalis, atau kualitas vokal sang penyanyi yang mengingatkan saya pada serak-basahnya karakter vokal Bryan Adams, tetapi lebih pada pesan pilu yang dibawanya dari tempat yang tak pernah kering dari darah dan air mata, Gaza.
Tentang siapa mencuri tanah siapa, atau tentang kelompok mana menyerang kedaulatan pihak mana, sudah menjadi pemahaman umum tak akan habis untuk dibahas dengan sebuah posting, bahkan sejuta. Kebenaran -atau setidaknya yang dianggap benar- tentang sejarah di wilayah paling sensitif didunia ini tidak pernah sepi dari kepentingan-kepentingan, rekayasa-rekayasa, konspirasi-konspirasi, dan yang pasti korban-korban.
Mari kita tidak bicara tentang bom fosfor kaum zionis yang membakar kulit bocah-bocah Palestina, mari menahan diri untuk tak menggunjingkan militansi Hamas yang konon membangkitkan amarah militer israel. Simpan dulu teori tentang “new world order” yang membekingi sifat kombatan anak cucu Israil ini. Buang jauh-jauh prasangka agama sebagai penyebab konflik berujung penistaan kemanusiaan ini. Jangan bicara yang bukan-bukan tentang konspirasi perdagangan senjata yang berkepentingan dalam pelanggengan peperangan di tanah -yang katanya- suci itu. Tirulah Obama yang memilih tak bicara apa-apa tentang pencederaan harkat manusia di Gaza, setelah dia lantang mengutuk tindakan kekerasan di Mumbai. Sangat adil.
Saya hanya membayangkan seorang lelaki Palestina bertanya pada rekannya, “Hai kawan, bukankah kakek kita dulu pernah membantu sebuah negeri bernama Andunisiya? Tetapi kenapa disaat kita sedang dihimpit dan ditindas seperti sekarang, mereka tidak bergegas menolong kita?”, rekannya menjawab, “Sudahlah kawan, jangan kau pikirkan Andunisiya itu. Negeri itu sangat jauh, repot bagi mereka untuk membantu kita. Terlebih mereka juga sedang dihimpit dan ditindas seperti kita, bedanya, oleh kebobrokan sistem dan feodalisme modern.”
Kemudian berkelebat seorang bocah menggugat kepada ibunya, “Ibu, kenapa raja-raja Arab tetangga kita itu diam saja melihat masjid-masjid dihancurkan? Apakah mereka tidak malu agamanya dihinakan?”, setengah berbisik ibunya menjawab, “Anakku percayalah, selama hubbud-dunya masih mengendap di dada (dan perut) tetangga-tetangga kita itu, maka peperangan ini adalah untuk kita hadapi sendiri”.
Tentu kedua dialog imajiner produk otak bandeng milik saya ini tidak pernah terjadi. Sebab tidak mungkin pejuang Palestina yang gagah berani mengharap (lebih-lebih meminta) bantuan dari siapapun, termasuk negeri yang mereka sebut Andunisiya itu, juga tentu sama sekali fitnah jika dikatakan bahwa Andunisiya adalah negeri dengan kebobrokan sistem dan feodalisme modern, hanya sedang mengalami multi-keterpurukan dan multi-keterjerumusan, dan itu bukan masalah besar. Setidaknya bagi para oportunis dalam struktur kepemimpinan mereka.
Juga khayalan tentang pemimpin-pemimpin Arab itu tidak benar. Mereka sudah tentu sangat malu, bahkan kemaluan mereka terlampau besar. Saking besarnya, mereka berjuang mati-matian di forum-forum diskusi internasional dan berbagai jihad diplomasi menentang invasi israel, mereka sama sekali tidak cinta dunia seperti yang dituduhkan si ibu, mereka bahkan tak takut mati sekalipun. Sehingga tertolaklah anggapan bahwa mereka sedang terjangkit wahn seperti yang dikhawatirkan Muhammad. Kalaupun ada yang benar dari imajinasi saya adalah -barangkali- hanya tentang peperangan yang harus dihadapi sendiri oleh ibu-ibu Palestina.
Soal kemaluan yang besar seharusnya tak hanya menjadi milik orang Arab, kitapun semestinya (dan seharusnya) punya. Janganlah membawa-bawa agama sebagai alasan untuk merasakan kepedihan Palestina, tidak usahlah mensyaratkan mereka memiliki keyakinan yang sama baru kita mau ikut menjerit atas luka-luka mereka. Tak harus dengan label agama atau bungkus ketuhanan yang sama untuk membuat Michael Heart menuliskan kegelisahannya tentang pencederaan besar manusia dan kemanusiaan yang terjadi nun jauh disana, di Qithaa’ Ghazzah …

A blinding flash of white lightLit up the sky over Gaza tonightPeople running for coverNot knowing whether they’re dead or alive
They came with their tanks and their planesWith ravaging fiery flamesAnd nothing remainsJust a voice rising up in the smoky haze
We will not go downIn the night, without a fightYou can burn up our mosques and our homes and our schoolsBut our spirit will never dieWe will not go downIn Gaza tonight
Women and children alikeMurdered and massacred night after nightWhile the so-called leaders of countries afarDebated on who’s wrong or right
But their powerless words were in vainAnd the bombs fell down like acid rainBut through the tears and the blood and the painYou can still hear that voice through the smoky haze
We will not go downIn the night, without a fightYou can burn up our mosques and our homes and our schoolsBut our spirit will never dieWe will not go downIn Gaza tonight

Comments

  1. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete

Post a Comment

tulis komentar anda

Popular Posts